28 November 2008

Home Schooling: Biayanya Murah, Mutu Tak Kalah SAAT kelas tiga SMP, di tahun 2003, Minuk merasa kesal. Pasalnya, nilai pelajaran keseniannya dapat angka merah, 4. Padahal, seni adalah bidang yang paling diminatinya dan ia percaya kemampuannya tidak berada di bawah rata-rata teman-teman sekelasnya. Ia pun protes. Tapi, protesnya tidak digubris pihak sekolah. Gadis itu pun merasa bahwa sekolahnya tidak mendukung. Dia pun berpikir untuk belajar di rumah saja dan berhenti dari sekolah formal. Permintaan anak pertama didukung oleh orangtuanya, Seto Mulyadi, yang terkenal sebagai pendidik dan psikolog anak. Minuk belajar mandiri dengan mengatur jadwal belajarnya sendiri di rumahnya di bilangan Cirendeu, Tangerang, tanpa guru pembimbing. Untuk mengetahui hasil belajar mandirinya itu dan memperoleh ijazah setara SMP, ia mengikuti ujian kesetaraan Paket B (setara SMP). Ia pun lulus.Belajar mandiri tidak hanya berhenti di SMP. Minuk pun melanjutkan program home schooling ini untuk tingkat SMA. Namun, ketika buku-buku yang dipelajarinya tidak nyangkut di pikirannya, seperti pelajaran kimia, ia pun mengundang guru ke rumah untuk membimbingnya. Lagi-lagi, ia bisa melalui masa belajar tiga tahun setara SMA itu dengan mulus. Tahun lalu, ia lulus ujian kesetaraan Paket C (setara SMA) dengan nilai rata-rata 7,5. Saat ini, Minuk yang berusia 18 tahun sudah terdaftar mahasiswa disain grafis di Universitas Lim Kok Win, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelum mendaftar sebagai mahasiswa, Minuk selama setahun ini menghabiskan waktu dengan kegiatan sosial bersama bapaknya mengunjungi anak-anak di berbagai belahan Indonesia. Kegiatan sosialnya itu juga sudah dijalaninya di sela-sela home schooling yang waktu belajarnya diaturnya sendiri. Bukan cuma Minuk yang home schooling. Dari empat anak Seto Mulyadi, tiga di antaranya mengikuti sekolah rumahan itu. Mereka adalah Minuk (18), Sasha (10) kelas lima SD, dan Dhea (8) kelas tiga SD. Anak-anak Seto itu merasa bahwa belajar mandiri justru membebaskannya untuk memilih waktu belajar dan minatnya sendiri.Selain belajar di rumah, Sasha dan Dhea juga belajar dari alam sekitar, yaitu dengan mengikuti sekolah alam. Kegiatan itu dilakukannya minimal tiga bulan sekali. Boleh dibilang, sebagian besar waktu belajar mereka dihabiskan di rumah. Tapi, bukan berarti anak-anak itu tidak bersosialisasi dengan teman-temannya. Mereka justru semakin memiliki waktu untuk bergaul. Misalnya dengan mengikuti berbagai kegiatan kesukaan sambil menggali potensi diri, seperti menari balet, belajar piano, atau menyanyi. Bahkan, Dhea yang senang menyanyi sedang mempersiapkan album anak- anak perdananya. Bila membandingkan biaya pendidikan di sekolah dengan home schooling ini, Seto mengaku bahwa sekolah rumahan cenderung minim biaya. Anak keduanya, Bimo (15) yang kelas satu SMA bersekolah di kawasan Bintaro, harus membayar uang pangkal sekolah Rp 60 juta, ditambah iuran bulanan Rp 3,5-4 juta. Anak-anaknya yang home schooling hanya sesekali mengeluarkan uang ketika kesulitan materi pelajaran sehingga harus mendatangkan guru ke rumah. Ketika menerapkan home schooling di rumahnya, Seto Mulyadi mendapat banyak kecaman, terutama dari keluarganya sendiri. Ia sebagai pendidik dianggap tidak bisa memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya. "Ada beban moril yang harus ditanggung," ucap Seto Mulyadi. Tapi, karena kemauan yang kuat dari sang anak untuk tetap terus belajar di rumah, Seto pun tegar menghadapi gunjingan tersebut. Hasilnya, ia mengacungkan jempol untuk anaknya yang memiliki kemandirian dan ketrampilan hidup yang patut dibanggakan. (tan) Sumber: Warta Kotaanak gw ga sekolah juga ah....::shop::

Tidak ada komentar: